Sabtu, 08 November 2008

CAHAYA TRADISIONALISME DI TENGAH GELAPNYA SAINS


Oleh; Humaidi*

Terowongan adalah gambaran besar modernitas yang berlandaskan pada materialisme atau naturalisme, yang mengakui memang ada hal-hal non-material –pikiran dan perasaan misalnya- tetapi semua itu bergantung pada materi.
Gambaran besar modernitas ini berkembang di dua masa; masa modern dan pos-modern. Anak emas modernisme adalah sains dengan pandangan ilmiahnya, dan anak emas posmodernisme adalah keadilan. Modernism atau posmodernisme sama-sama percaya bahwa penciptaan alam semesta dan kehidup di dunia ini tidak bermakna dan tidak mempunyai tujuan.
Dalam pandangan dunia ilmiah, segala sesuatu berasal dari dan bergantung pada materi yang selalu mati dan, selain kehidupan organik, tidak bertujuan.
Menurut Huston Smith, di dunia luar terowongan ada dunia lain yang disebut pandangan dunia tradisonal. Dunia ini terbentuk dari bahan-bahan –perasaan, nilai-makna, dan tujuan- yang sama dengan kita. Semua itu diatur dengan baik. Dan karena kesadaran (bukan materi) yang menjadi dasar, kematian badanial bukanlah akhir segalanya.
Kontras antara dunia pandangan dunia sains dan tradisonalisme terlihat pada nasib yang diderita doktrin Arestoteles mengenai empat penyebab: material, efisien, formal dam final. Pandangan dunia sains hanya mempertahankan dua sebab, yaitu sebab material dan efisien. Sendangkan dua sebab lainnya ditolak.

Setitik Cahaya Tradisionalisme
Dalam pandangan dunia tradisionalisme-religius, ruh merupakan yang fundamental dan materi bersifat derivatif. Materi hanya kadang-kadang muncul dalam lautan ruh, seperti puncuk gunung es. Dalam pandangan dunia sains adalah sebaliknya.
Dalam pandangan dunia tradisional-religius, manusia merupakan pihak yang kekurangan, yang memperoleh dari yang lebih (the less who have derived from the more). Pada manusia dapat ditemukan jejek-jejek kemuliaan asal-muasalnya. Amnusia adalah ciptaan Sang Pencipta, atau dalam bahasa filosofis, manusia merupakan emanasi dari Yang Tunggal yang mencakup segala kesempurnaan.
Pandangan dunia tradisional-religius merujuk pada akhir yang bahagi; berbeda dengan pandangan dunia ilmiah yang mempercayai bahwa kehidupan ini tidak bertujuan. Dalam agama-agama Ibrahim baik jiga seseorang maupun sejarah secara keseluruhan akan berkahir bahagia. Sejarah mencapai puncaknya dengan kedatangan sang Mesiah, kedatangan kedua Kristus, dan kedatangan al-Mahdi.
Dalam pandangan dunia tradisional-religius hidup penuh makna. Karena diciptakan secara sengaja oleh Yang Mahasempurna –atau memakai kata yang antromorfik, yang mengalir keluar dari yang Mahasempurna, seperti “mata air yang terus mengalir”, kata Plotinus- maka dunia tradisional penuh makna. Berbeda dengan pandangan dunia ilmiah yang memercayai baha makna hanyalah sebatas kulit; “kiulit” di sini menandai oraganisme biologis pada bagian khusus sebelah luar semesta. “Pemahaman modern menganai evolusi berimplikasi bahwa makna akhir kehidupan adalah ketiadaan,” kata John Avis dan William Provine.
Orang-orang yang hidup dalam dunia tradisional-religius merasa kerasan. Mereka menjadi milik dunia mereka karena dibuat dari bahan spritual yang sama. Masyarakat tradisional religius menemukan keterkaitan pada segala benda, dan mereka menggunakan agama mereka untuk menjaga dunia dari keterpisahan. Agama memperlihatkan bagaimana umat manusia terika pada sumber Ultimat.

Tidak ada komentar: